Kelainan Susunan Saraf Pusat dan Gangguan Autistik

images21.jpgGANGGUAN autistik bukan hanya disebabkan faktor psikologis, melainkan juga biologis. Penelitian struktur otak lewat bedah otak pada penyandang autis yang telah meninggal serta pencitraan otak dengan magnetic resonance imaging (MRI), single photon emission computed tomography (SPECT), maupun positron emission tomography (PET) menunjukkan kelainan pada hampir semua struktur otak. Antara lain di otak kecil (serebelum), lapisan luar otak besar (korteks serebri), sistem limbik (pengatur emosi), penghubung otak kiri dan kanan (korpus kalosum), ganglia basalis, dan batang otak.GANGGUAN sistem saraf pusat yang bisa memicu gejala autis dibahas dalam Konferensi Nasional Autisme I bertema “Towards a Better Life for Autistic Individuals” yang berlangsung 2-4 Juli 2003.

Autisme pada masa kanak-kanak ditandai dengan adanya gangguan dalam berinteraksi sosial, kemampuan berkomunikasi, dan aktivitas berimajinasi. Perilaku yang sering menyertai autisme antara lain hiperaktivitas, agresivitas, stereotipik kata dan gerak, menyakiti diri sendiri, penarikan diri, serta gangguan tidur (insomnia).

Menurut dr Chatijah Satrio Wibowo SpKJ dari Bagian Ilmu Penyakit Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, penyandang autis memiliki kecerdasan otak yang menampilkan dunia mereka dan mengatur kesehatan fisiknya. Namun, mereka memiliki permasalahan berat dengan kemampuan untuk peduli, mempelajari dan meneliti tindakan, mengatur diri, serta persepsi dan reaksi terhadap apa yang terjadi atau apa yang dirasakan orang lain. Hal itu disebabkan oleh abnormalitas di bagian tertentu pada otak yang bertanggung jawab pada pengaturan emosi, kontrol, dan koordinasi gerak.

Pembicara lain, dr Hardiono D Pusponegoro SpA(K) dari Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), menjelaskan kaitan gangguan pertumbuhan otak dengan timbulnya gejala autis.

Menurut Hardiono, pada penderita autis terdapat pola pertumbuhan otak yang berbeda dengan anak normal. Pada masa sebelum lahir sampai usia dua hingga tiga tahun terjadi percepatan pertumbuhan otak secara abnormal dengan fungsi abnormal pula. Namun, pertumbuhan otak yang cepat itu tidak dapat dipertahankan. Mulai usia enam tahun sampai remaja, terjadi perlambatan pertumbuhan otak sehingga volume otak pada remaja dan dewasa lebih kecil dibanding otak normal.

Hal itu dibuktikan dari penelitian yang melibatkan 67 kasus autis dan 83 kontrol (individu normal) berusia delapan sampai 46 tahun lewat pemeriksaan MRI. Ternyata, anak autis di bawah usia 12 tahun menunjukkan volume otak lebih besar. Namun, perbedaan hilang pada penderita di atas usia 12 tahun.

Penelitian lain mendapatkan volume otak pada 45 kasus autisme lebih besar dibandingkan dengan 26 anak normal dan 14 anak dengan perkembangan terlambat tetapi bukan autis.

Selain itu, penelitian pada 60 kasus autisme dan 52 kontrol yang berusia 2-26 tahun memperlihatkan hasil lebih tepat. Saat lahir, semua kasus autisme dan kontrol menunjukkan lingkar kepala yang tidak berbeda. Pada usia 2-4 tahun, 90 persen kasus autisme menunjukkan volume otak lebih besar, bahkan 37 persen di antaranya mempunyai lingkar kepala yang dapat digolongkan sebagai makrosefali.

Pembesaran volume otak tidak merata, melainkan hanya pada bagian tertentu yaitu berlebih pada substansi putih otak besar dan otak kecil serta substansi kelabu otak besar, namun kurang pada substansi kelabu otak kecil serta bagian otak kecil bernama lobulus vermis VI-VII.

Pertumbuhan saraf otak

Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk mengalirkan impuls listrik (akson) serta serabut untuk menerima impuls listrik (dendrit). Sel saraf terdapat di lapisan luar otak yang berwarna kelabu (korteks). Akson dibungkus selaput bernama mielin, terletak di bagian otak berwarna putih. Sel saraf berhubungan satu sama lain lewat sinaps.

Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan. Pada trimester ketiga, pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai pembentukan akson, dendrit, dan sinaps yang berlanjut sampai anak berusia sekitar dua tahun.

Setelah anak lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak berupa bertambah dan berkurangnya struktur akson, dendrit, dan sinaps. Proses ini dipengaruhi secara genetik melalui sejumlah zat kimia yang dikenal sebagai brain growth factors dan proses belajar anak.

“Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas. Pembentukan akson, dendrit, dan sinaps sangat tergantung pada stimulasi dari lingkungan. Bagian otak yang digunakan dalam belajar menunjukkan pertambahan akson, dendrit, dan sinaps. Sedangkan bagian otak yang tak digunakan menunjukkan kematian sel, berkurangnya akson, dendrit, dan sinaps,” papar Hardiono.

Dari pemeriksaan darah bayi-bayi yang baru lahir, diketahui pertumbuhan abnormal pada penderita autis dipicu oleh berlebihnya neurotropin dan neuropeptida otak (brain-derived neurotrophic factor, neurotrophin-4, vasoactive intestinal peptide, calcitonin-related gene peptide) yang merupakan zat kimia otak yang bertanggung jawab untuk mengatur penambahan sel saraf, migrasi, diferensiasi, pertumbuhan, dan perkembangan jalinan sel saraf. Brain growth factors ini penting bagi pertumbuhan otak.

“Peningkatan neurokimia otak secara abnormal menyebabkan pertumbuhan abnormal pada daerah tertentu. Pada gangguan autistik terjadi kondisi growth without guidance, di mana bagian-bagian otak tumbuh dan mati secara tak beraturan,” jelas Hardiono.

Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan sel saraf lain. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye (sel saraf tempat keluar hasil pemrosesan indera dan impuls saraf) di otak kecil pada autisme. Berkurangnya sel Purkinye diduga merangsang pertumbuhan akson, glia (jaringan penunjang pada sistem saraf pusat), dan mielin sehingga terjadi pertumbuhan otak secara abnormal atau sebaliknya, pertumbuhan akson secara abnormal mematikan sel Purkinye. Yang jelas, peningkatan brain derived neurotrophic factor dan neurotrophin-4 menyebabkan kematian sel Purkinye.

Gangguan pada sel Purkinye dapat terjadi secara primer atau sekunder. Bila autisme disebabkan faktor genetik, gangguan sel Purkinye merupakan gangguan primer yang terjadi sejak awal masa kehamilan.

Degenerasi sekunder terjadi bila sel Purkinye sudah berkembang, kemudian terjadi gangguan yang menyebabkan kerusakan sel Purkinye. Kerusakan terjadi jika dalam masa kehamilan ibu minum alkohol berlebihan atau obat seperti thalidomide.

Penelitian dengan MRI menunjukkan, otak kecil anak normal mengalami aktivasi selama melakukan gerakan motorik, belajar sensori-motor, atensi, proses mengingat, serta kegiatan bahasa. Gangguan pada otak kecil menyebabkan reaksi atensi lebih lambat, kesulitan memproses persepsi atau membedakan target, overselektivitas, dan kegagalan mengeksplorasi lingkungan.

Pembesaran otak secara abnormal juga terjadi pada otak besar bagian depan yang dikenal sebagai lobus frontalis. Kemper dan Bauman menemukan berkurangnya ukuran sel neuron di hipokampus (bagian depan otak besar yang berperan dalam fungsi luhur dan proses memori) dan amigdala (bagian samping depan otak besar yang berperan dalam proses memori).

Penelitian pada monyet dengan merusak hipokampus dan amigdala mengakibatkan bayi monyet berusia dua bulan menunjukkan perilaku pasif-agresif. Mereka tidak memulai kontak sosial, tetapi tidak menolaknya. Namun, pada usia enam bulan perilaku berubah. Mereka menolak pendekatan sosial monyet lain, menarik diri, mulai menunjukkan gerakan stereotipik dan hiperaktivitas mirip penyandang autisme. Selain itu, mereka memperlihatkan gangguan kognitif.

Menurut Hardiono, faktor lingkungan yang menentukan perkembangan otak antara lain kecukupan oksigen, protein, energi, serta zat gizi mikro seperti zat besi, seng, yodium, hormon tiroid, asam lemak esensial, serta asam folat.

Adapun hal yang merusak atau mengganggu perkembangan otak antara lain alkohol, keracunan timah hitam, aluminium serta metilmerkuri, infeksi yang diderita ibu pada masa kehamilan, radiasi, serta ko kain.

Terapi

Chatijah menyatakan, kimia otak yang kadarnya abnormal pada penyandang autis adalah serotonin 5-hydroxytryptamine (5-HT), yaitu neurotransmiter atau penghantar sinyal di sel-sel saraf. Sekitar 30-50 persen penyandang autis mempunyai kadar serotonin tinggi dalam darah.

Kadar norepinefrin, dopamin, dan serotonin 5-HT pada anak normal dalam keadaan stabil dan saling berhubungan. Akan tetapi, tidak demikian pada penyandang autis.

Terapi psikofarmakologi tidak mengubah riwayat keadaan atau perjalanan gangguan autistik, tetapi efektif mengurangi perilaku autistik seperti hiperaktivitas, penarikan diri, stereotipik, menyakiti diri sendiri, agresivitas dan gangguan tidur.

Sejumlah observasi menyatakan, manipulasi terhadap sistem dopamin dan serotonin dapat bermanfaat bagi pasien autis. Antipsikotik generasi baru, yaitu antipsikotik atipikal, merupakan antagonis kuat terhadap reseptor serotonin 5-HT dan dopamin tipe 2 (D2).

Chatijah mencontohkan, risperidone bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin D2 dan serotonin 5-HT untuk mengurangi agresivitas, hiperaktivitas, dan tingkah laku menyakiti diri sendiri.

Sedangkan olanzapine, yang semula digunakan untuk skizofrenia, belakangan meluas penggunaannya untuk autisme. Karena mampu menghambat secara luas pelbagai reseptor, olanzapine bisa mengurangi hiperaktivitas, gangguan bersosialisasi, gangguan reaksi afektual (alam perasaan), gangguan respons sensori, gangguan penggunaan bahasa, perilaku menyakiti diri sendiri, agresi, iritabilitas emosi atau kemarahan, serta keadaan cemas dan depresi.

Untuk meningkatkan keterampilan sosial serta kegiatan sehari-hari, penyandang autis perlu diterapi secara nonmedikamentosa yang melibatkan pelbagai disiplin ilmu. Menurut dr Ika Widyawati SpKJ dari Bagian Ilmu Penyakit Jiwa FKUI, antara lain terapi edukasi untuk meningkatkan interaksi sosial dan komunikasi, terapi perilaku untuk mengendalikan perilaku yang mengganggu/membahayakan, terapi wicara, terapi okupasi/fisik, sensori-integrasi yaitu pengorganisasian informasi lewat semua indera, latihan integrasi pendengaran (AIT) untuk mengurangi hipersensitivitas terhadap suara, intervensi keluarga, dan sebagainya.

Untuk memperbaiki gangguan saluran pencernaan yang bisa memperburuk kondisi dan gejala autis, dilakukan terapi biomedis. Terapi itu meliputi pengaturan diet dengan menghindari zat-zat yang menimbulkan alergi (kasein dan gluten), pemberian suplemen vitamin dan mineral, serta pengobatan terhadap jamur dan bakteri yang bercokol pada dinding usus.

sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0307/06/iptek/412924.htm

Dengan pelbagai terapi itu, diharapkan penyandang autis bisa menjalani hidup sebagaimana anak-anak lain dan tumbuh menjadi orang dewasa yang mandiri dan berprestasi. (ATK)

Search :
   
 
 
 

<!—

—>

Berita Lainnya :

· Masjid Raya, Simbol Religiositas Kota Bandung
· Naturalnya Sungai-sungai di Indonesia
· Masa Depan Remaja Pengguna Narkoba
· Kelainan Susunan Saraf Pusat dan Gangguan Autistik
 

5 Komentar (+add yours?)

  1. via
    Apr 28, 2010 @ 12:44:04

    ^_^ makasih atas informasinya.,.,.,
    lalu bagaimana cara mengantisipasinya???

    Balas

  2. Amrul
    Sep 28, 2010 @ 00:15:58

    Anak saya mengalami gangguan otak (CP)dan bila ada yang dirasa sakit sedikit saja dia akan mulai kejang.kadang kejangnya lama sekali sehingga harus disuntik dengan zeadevanm.sekarang hampir 4 thn harus terus mengkonsumsi luminal.Berikan kami jalan keluar dan obat tradisional atau obat kimia apa yang harus dikonsumsi?.

    Balas

  3. okta alpindo
    Nov 13, 2010 @ 08:34:30

    buat penyebab kenapa orang bsa gila donk…..!!!!!!!!!!

    Balas

Tinggalkan komentar